Skip to content Skip to footer

Pandemi Belum Berakhir, Akankah Denim Menemui Titik Nadir?

Sejak mulai mewabah di awal 2020, pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), per Jumat (12/2/2021) virus corona telah merenggut 2.347.015 jiwa di seluruh dunia.

Tak hanya menimbulkan krisis kesehatan, pandemi juga menghantam sektor ekonomi di berbagai belahan dunia. Dari sekian banyak industri, bisnis retail berbasis produk-produk denim menjadi salah satu yang terdampak.

Sebut saja G-Star Raw dan True Religion. Kedua perusahaan tersebut mengajukan dokumen kebangkrutan beberapa bulan pasca pandemi melanda.

Melansir laman Just-Style (6/7/2020), pihak G-Star Raw menyatakan bahwa pandemi Covid-19 membuat performa toko offline mereka menurun drastis.

Nasib serupa pun menghampiri True Religion. Seperti diberitakan Retail Dive (20/10/2020), pendapatan brand denim legendaris asal AS ini menurun 80 persen setelah pandemi merebak. 

Hal tersebut diakibatkan penutupan toko-toko offline mereka menyusul kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintah AS.

Sebelum masa pandemi, True Religion memiliki 87 retailer di seluruh dunia. Kini, mereka terpaksa menutup sejumlah outlet dan menyisakan sekitar 50 outlet. Beruntung, perusahaan besutan Jeff Lubell ini berhasil diselamatkan melalui sejumlah kesepakatan.

WFH dan pergeseran tren fesyen

Menyusul pembatasan sosial yang diterapkan pemerintah, perusahaan dan institusi di berbagai belahan dunia pun mulai menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH). 

Situasi tersebut sontak membuat sebagian besar orang harus melakukan berbagai aktivitas di rumah. Hal ini pun mendorong sejumlah tren baru, tak terkecuali tren athleisure di dunia fesyen.

Athleisure menjadi pakaian yang populer di tengah pandemi (Dok. Shutterstock)

Menurut kamus Oxford, athleisure didefinisikan sebagai pakaian yang dirancang secara kasual dan nyaman untuk berolahraga maupun aktivitas sehari-hari.

Tren tersebut sebetulnya bukan hal baru. Athleisure telah mengemuka pada 70-an seiring naiknya tren fitness di kalangan masyarakat dunia. Saat itu, orang-orang masih mengenakan pakaian kasual biasa untuk berolahraga. 

Sejumlah sports brand melihat situasi tersebut sebagai peluang. Mereka pun mulai berinovasi dan menciptakan pakaian yang nyaman untuk berolahraga. Hasilnya, pakaian olahraga dengan material sintetis, seperti lycra, spandex, serta nylon mulai beredar dan populer di tengah masyarakat.

Kenyamanan yang dihadirkan athleisure kembali mengemuka di masa pandemi. Berdasarkan laporan platform pencarian fesyen global, Lyst, permintaan kategori pakaian activewear dan loungewear meningkat 106 persen pada kuartal I-2020.

Selain itu, brand sportswear Nike juga berhasil menjadi pemuncak dalam kategori “The Hottest Brand” pada periode yang sama. Umumnya, posisi puncak diisi oleh brand dengan kategori luxury, seperti Off-White, Balenciaga, Gucci, dan Versace.

Sejumlah istilah baru dalam dunia fesyen pun lahir. Sebut saja “Zoom Sweater”, “Biz Leisure”, dan “Workleisure”.

Pergeseran tren tersebut tentu bukan tanpa alasan. Berdiam di rumah dalam jangka waktu lama tentunya membuat banyak orang lebih memilih pakaian yang nyaman. Terlebih, sejumlah pakaian athleisure juga dapat digunakan untuk berolahraga.

Akankah denim menemui titik nadir?

Kebutuhan terhadap pakaian yang “nyaman” di tengah pandemi ini tentu menimbulkan pertanyaan di benak para pecinta denim.

Akankan pandemi menjadi momen “kematian” denim?

Seperti diketahui, jeans dan garmen berbahan denim bukanlah pakaian rumahan. Dengan tekstur yang relatif kasar ketimbang pakaian athleisure, jeans atau denim tentu menjadi pilihan terakhir saat kalian berada di rumah.

Meski demikian, “kematian” denim akibat pandemi ternyata masih jauh panggang dari api. Sejumlah laporan menunjukkan bahwa permintaan denim mulai merangkak naik pada kuartal I-2021.

Berdasarkan laporan Lyst, permintaan jeans dan denim meningkat 23 persen pada Januari 2021.

Selain itu, jeans dan denim masih terlihat pada koleksi F/W 21-22 fesyen pria di sejumlah digital fashion week.

Nama-nama besar dari dunia denim pun memanfaatkan momen WFH untuk berkolaborasi dengan sejumlah produsen dekorasi rumah. 

Contohnya, Levi’s yang berkolaborasi dengan Target dan Wrangler bersama Pottery Barn Teen belakangan ini.

Teaser kolaborasi Levi’s dan Target untuk koleksi Februari 2021 (Dok. Target)

Brand denim klasik Lee baru-baru ini juga berkolaborasi dengan H&M untuk merancang koleksi sustainable denim yang menyasar Gen-Z.

Tak hanya itu, pandemi juga mempopulerkan “relaxed fit” jeans ke permukaan. Berdasarkan laporan perusahaan product intelligence, Trendalytics, pada awal 2021, pencarian “oversized jeans” meningkat 76 persen secara year-over-year (yoy). Sebelum masa pandemi, jeans dengan fit skinny atau slim fit cenderung lebih populer.

Kebangkitan denim bukan tanpa alasan. Menurut konsultan Euromonitor International, Ayako Homma, peningkatan permintaan denim disebabkan pergeseran aturan berpakaian atau dress code di berbagai perusahaan.

“Pandemi mengubah dress code di berbagai perusahaan, khususnya AS, menjadi lebih kasual. Hal ini pun mendorong peningkatan penggunaan jeans di tengah masyarakat,” kata Homma seperti diberitakan Business Insider (1/8/2020).

Selain itu, dalam konteks lokal, pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan new normal sejak kuartal III-2020. 

Kebijakan tersebut membuat sebagian perusahaan mulai menerapkan kebijakan work from office (WFO) dengan pembatasan kuota. Sejumlah destinasi wisata juga telah kembali buka untuk mengerek perekonomian yang terkontraksi akibat pandemi.

Imbasnya, sebagian besar masyarakat mulai “memberanikan diri” untuk ke luar rumah. Entah karena tuntutan pekerjaan atau sekadar mengobati rasa jenuh. 

Situasi tersebut pun menjadi momen kebangkitan denim sebagai pakaian kasual yang dapat dikenakan saat ke luar rumah.

Menilik sejumlah fenomena di atas, nampaknya “kematian” denim masih jauh dari kenyataan.

“It would take more than a pandemic to cancel jeans”