Skip to content Skip to footer

Penjelasan Seputar Tie Dye, Sejarah, dan Simbol Perlawanan Kaum Hippie!

Melihat rekam jejak, tie dye adalah sebuah bagian dari dunia fesyen yang sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang baru. Jika kita melihat tiga tahun kebelakang tren tie dye ini mendadak naik daun di tengah pandemi Covid-19. Namun, sesungguhnya sejarah tie dye sudah jauh melanglang buana sejak lama nih. Selain ingin membahas penjelasan seputar tie dye, pada artikel kali ini mimin ingin menyinggung persoalan tie dye dalam bentuk perlawanan nih sob, waaah gimana ya tuh kira-kira maksudnya? Langsung aja kita bahas deh!

Kombinasi teknik tie dye dengan batik di Indonesia.

Pada dasarnya, tie dye merupakan teknik pewarnaan kain dengan metode celup. Pada tie dye, kain diwarnai dengan mengikat beberapa bagian tertentu sebelum dicelup atau diwarnai hingga memberikan efek-efek tertentu. Hasil pewarnaan dengan teknik ini akan menghasilkan pola geometris, abstrak, atau bahkan kombinasi keduanya. Di Indonesia, tie dye juga dikenal dengan istilah jumputan. Beberapa bahkan mengkombinasikan teknik jumputan dengan batik.


Sejarah Tie Dye? Mari Mengenal Lebih Dalam Yuk!

Seperti yang mimin singgung diatas, tie dye sendiri bukan menjadi suatu hal yang baru di dunia fesyen. Tie dye bahkan sempat menjadi metode yang diaplikasikan untuk pembuatan dekorasi berbasis tekstil di seluruh dunia selama lebih dari 600 tahun. Nggak ada literatur pasti yang mencatat awal mula munculnya teknik pewarnaan kain serupa tie dye. Beberapa percaya bahwa tie dye telah hadir sejak ribuan tahun lalu di kawasan Mesopotamia dan India. Beberapa juga mencatat teknik tie dye mulai ditemukan di Peru, Amerika Selatan (AS). Beberapa juga percaya bahwa teknik pencelupan memiliki akar yang kuat di negara-negara Afrika. Mengutip Today, imigran Afrika membawa keterampilan teknik pewarnaan ini ke AS pada era 1700 hingga 1800-an.

Tie Dye Ternyata adalah Bentuk Simbol Perlawanan dari Kaum Hippie!

Di luar versi sejarah yang beragam, banyak orang mengasosiasikan tie dye dengan generasi bunga atau subkultur hippie di AS pada era 1960 hingga 1970-an. Kala itu, tie dye menjadi simbol perlawanan bagi para ‘hippies’ terhadap budaya arus utama yang berlaku pada saat itu. Termasuk terhadap kapitalisme dan keseragaman yang tengah terjadi di tengah masyarakat saat penggunaan televisi mulai berkembang pesat. Akhirnya tie dye menjadi pernyataan counterculture pada era itu.

Musisi John Sebastian tampil pada Woodstock Festival 1969 di Amerika Serikat dengan mengenakan busana tie dye.

Tie dye pun kemudian populer di kalangan hippies. Kaum hippies yang anti-kemapanan memuja tie dye yang dianggap sebagai produk yang lebih alami dan independen. Tie dye menghasilkan kain atau produk yang lebih individual dan unik karena hasilnya yang akan selalu berbeda pada setiap proses pembuatan.

Popularitas tie dye pun dilirik oleh perusahaan pewarna kain Rit Dye. Lewat pemasaran pewarnaan kain yang praktis, Rit Dye memperkenalkan teknik pewarnaan yang mudah diakses dan menghasilkan kain yang unik. Tie dye pun akhirnya membuat siapa saja bisa berpartisipasi dalam gerakan perlawanan lewat kreasi simbol perdamaian dan cinta.

Gongnya terjadi pada perhelatan musik bersejarah Woodstock Festival pada 1969. Mengutip Vox, beberapa musisi seperti Janis Joplin, John Sebastian, dan Joe Cocker tampil dengan mengenakan busana tie dye di atas panggung.


Lambat laun, tie dye pun terus menancapkan taringnya di dunia fesyen nih sob. Nggak lagi cuman menjadi simbol perlawanan, kini busana tie dye malah melenggang di atas panggung peragaan busana dari deretan desainer ternama. Aktivitas tie dye ini pun ternyata disinyalir dapat memicu kegembiraan dan kreativitas.